Kisah Raja Abrahah yang Mati oleh Pasukan Burung Ababil


Kisah Raja Abrahah yang Mati oleh Pasukan Burung Ababil

Pendahuluan

Surat Al-Fil merupakan salah satu surat Makkiyah yang berisi peringatan akan kebesaran Allah ﷻ dalam menjaga rumah-Nya, Ka’bah yang mulia. Peristiwa ini terjadi pada tahun kelahiran Nabi Muhammad ﷺ (570 M), yang kemudian dikenal sebagai ‘Āmul Fīl atau Tahun Gajah. Kisah ini berpusat pada Abrahah al-Ashram, seorang gubernur dari Yaman di bawah kekuasaan Habasyah (Ethiopia), yang berambisi menghancurkan Ka’bah agar manusia berpaling menuju gereja megah yang ia bangun. Allah ﷻ mengabadikan peristiwa ini dalam Al-Qur’an untuk menjadi pelajaran sepanjang masa.

Ayat Surat Al-Fil dan Terjemahannya

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ (1) أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ (2) وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ (3) تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ (4) فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ (5)

Artinya:
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fil: 1–5)

Tafsir Ayat per Ayat 

Ayat 1 — أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ

Makna bahasa & retorika: Alam tara (tidakkah engkau melihat) adalah pertanyaan retoris yang ditujukan untuk membangkitkan perhatian — bukan semata penglihatan fisik Nabi ﷺ, melainkan pengetahuan nyata yang mesti disadari. Aṣḥāb al-fīl = “para pengikut bergajah” menunjuk kepada pasukan yang membawa gajah (Abrahah).
Penjelasan ulama:

  • Ibn Kathīr (Tafsir al-Qur’ān al-ʿAẓīm) menjelaskan ayat ini sebagai pengantar mukjizat Allah yang nyata: kekuatan manusia besar digagalkan oleh kehendak Ilah.

  • Al-Tabarī (Jāmiʿ al-Bayān) mengumpulkan berbagai riwayat sirah mengenai siapa Aṣḥāb al-Fīl itu, menegaskan hubungan peristiwa dengan Ka`bah.
    (Rujukan: Ibn Kathīr; at-Tabarī)

Ayat 2 — أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ

Makna: Allah menjadikan kaydahum (tipu daya / rencana) mereka berbalik menjadi kesesatan dan kegagalan (fi taḍlīl).
Penjelasan ulama:

  • Al-Qurṭubī (Al-Jāmiʿ li Aḥkām al-Qur’ān) menekankan bahwa ini menunjukkan betapa lemahnya rencana manusia bila Allah menentangnya; segala persiapan militer tidak berguna tanpa izin Tuhan.

  • Beberapa mufassir menambahkan aspek moral: kesombongan dalam niat menghancurkan tempat suci adalah sebab langsung penggagalan rencana.
    (Rujukan: al-Qurṭubī)

Ayat 3 — وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ

Makna kata: Ṭayran abābīl secara lughawi berarti “burung-burung berbondong-bondong/berkelompok”. Kata abābīl menekankan jumlah dan kerapatan kawanan.
Penjelasan ulama:

  • Ibn Kathīr meriwayatkan keterangan dari penulis sirah: burung itu datang dalam kumpulan, dan setiap burung membawa sesuatu (disebut dalam riwayat: batu kecil) untuk melempari pasukan.

  • At-Tabarī mencatat berbagai riwayat detail: ada yang menyebut burung bentuk khusus, ada pula yang menafsirkan makna metaforis (azab dengan cara yang tidak biasa). Namun mufassir mayoritas menerima sebagai peristiwa nyata: makhluk (burung) sebagai sarana azab.
    (Rujukan: Ibn Kathīr; at-Tabarī)

Ayat 4 — تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ

Perkataan kunci: ḥijārah min sijjīl — batu dari sijjīl. Makna sijjīl menjadi perdebatan bahasa: para mufassir menjelaskan sebagai tanah liat yang dibakar / batu yang panas; ada pula yang menyambungkan kata ini ke bahasa Persia lama yang bermakna "batu" atau "tanah yang dibakar".
Penjelasan ulama:

  • Al-Qurṭubī dan Ibn Kathīr menerangkan bahwa sijjīl menunjukkan bahan yang kasar dan membakar sehingga ketika mengenai tubuh musuh menimbulkan kehancuran.

  • Al-Baghāwī (Maʿālim at-Tanzīl) menukil riwayat yang menyebut burung melemparkan batu kecil ke kepala dan tubuh tentara sehingga mereka tewas seketika.
    (Rujukan: al-Qurṭubī; Ibn Kathīr; al-Baghāwī)

Ayat 5 — فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُولٍ

Makna perumpamaan: Kaʿaṣf-in maʾkūl — mereka dijadikan seperti kaʿṣf (dedauan / jerami) yang sudah dimakan (sisa), yakni betapa ringkih dan tak berdayanya mereka.
Penjelasan ulama:

  • Ibn Kathīr menjelaskan ini sebagai metafora kehancuran total: pasukan hancur tidak berbentuk lagi, seperti sisa dedaunan yang dimakan ternak.

  • As-Saʿdī (Tafsir al-Karīm ar-Rahmān) menegaskan tujuan moral ayat: agar manusia berpikir, janganlah sombong terhadap urusan yang Allah jaga.
    (Rujukan: Ibn Kathīr; as-Saʿdī)

Pemicu Penyerangan Ka’bah

Gereja Al-Qullais yang Dinodai

Abrahah membangun gereja megah bernama Al-Qullais di Yaman untuk menyaingi Ka’bah. Ia berharap manusia akan berhaji ke sana, bukan ke Makkah. Namun, seorang Arab Badui dari Bani Kinana merasa marah dan mengotori gereja tersebut di malam hari. Abrahah murka besar dan bersumpah tidak akan tenang sebelum menghancurkan Ka’bah.

Penyerangan Ka’bah

Ketika pasukan Abrahah mendekati Makkah, masyarakat Quraisy memilih mengungsi ke gunung-gunung sekitar, menyerahkan urusan perlindungan Ka’bah kepada Allah.

Abrahah menurunkan gajah terbesar bernama Mahmud untuk meruntuhkan Ka’bah. Namun, ketika diarahkan menuju Ka’bah, gajah itu menolak berjalan. Ajaibnya, setiap kali dibelokkan ke arah lain, ia mau berjalan, tetapi begitu diarahkan ke Ka’bah, ia berhenti dan duduk.

Pada saat itu, datanglah burung-burung ababil dari arah laut. Masing-masing membawa batu kecil, satu di paruh dan dua di kaki. Batu itu dilemparkan tepat ke pasukan Abrahah. Batu kecil tersebut, dengan izin Allah, menembus tubuh mereka hingga binasa.

Abrahah sendiri terkena azab, tubuhnya hancur sedikit demi sedikit hingga akhirnya mati dalam kehinaan di perjalanan pulang menuju Yaman.

Pertemuan Abrahah dengan Abdul Muthalib

Saat pasukan Abrahah mendekati Makkah, mereka merampas hewan ternak milik Quraisy, termasuk unta-unta Abdul Muthalib, kakek Nabi ﷺ. Abdul Muthalib datang menemui Abrahah untuk meminta untanya kembali. Abrahah terkejut, mengira Abdul Muthalib akan memohon agar Ka’bah diselamatkan. Namun Abdul Muthalib menjawab:
“Aku adalah pemilik unta-unta ini, sedangkan Ka’bah ada Pemiliknya yang akan menjaganya.”
Jawaban ini membuat Abrahah semakin meremehkan kaum Quraisy, tetapi kenyataannya justru menjadi tanda kebesaran Allah.

Hikmah dan Pelajaran

  1. Kekuasaan Allah: Tak ada kekuatan yang bisa melawan kehendak-Nya. Pasukan bergajah kalah oleh burung kecil.

  2. Kemuliaan Ka’bah: Allah sendiri yang menjaga rumah-Nya, menegaskan kedudukannya sebagai pusat ibadah.

  3. Doa orang saleh: Jawaban Abdul Muthalib menunjukkan tawakal yang tinggi, dan Allah benar-benar menjawabnya.

  4. Hidayah di balik peristiwa: Tahun Gajah bertepatan dengan kelahiran Nabi ﷺ, seakan menjadi isyarat bahwa Allah sedang mempersiapkan jalan untuk risalah yang agung.

Referensi

  • Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, Dar Thayyibah.

  • Al-Tabari, Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur’an, Dar al-Ma’arif.

  • Fakhruddin ar-Razi, Mafātīh al-Ghayb, Dar Ihya’ al-Turath.

  • Al-Baghawi, Ma’ālim at-Tanzīl, Dar al-Tayyibah.

  • Al-Sirah Ibn Hisham, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ditulis oleh: Tim Islam Media

Terangi masa depan dengan cahaya Al-Qur'an. Satu gedung bisa melahirkan ribuan penghafal yang akan menjaga kalam Allah. Lewat ekspedisi Iman dari Kata ke Amal, IslamMedia.com ingin membangun Gedung Penghafal Al-Qur'an di pelosok negeri. Bantu anak-anak menjadi generasi Qur'ani..

Ayo donasi via amalsholeh

Posting Komentar untuk "Kisah Raja Abrahah yang Mati oleh Pasukan Burung Ababil"