Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta per Bulan: Wajar atau Pemborosan?

 


Kontroversi Tunjangan Rumah Anggota DPR Rp50 Juta per Bulan: Layakkah di Tengah Krisis Ekonomi?

Isu tunjangan rumah bagi anggota DPR kembali jadi sorotan publik. Pasalnya, setiap anggota dewan kini menerima Rp50 juta per bulan sebagai pengganti rumah dinas. Dengan tambahan tersebut, pendapatan resmi anggota DPR melampaui Rp100 juta per bulan.

Kebijakan ini memicu kritik luas karena dianggap tidak pantas di tengah sulitnya ekonomi masyarakat serta tidak sebanding dengan kinerja parlemen yang dinilai belum memuaskan.

Mengapa Tunjangan Rumah DPR Dipersoalkan?

1. Pemborosan Anggaran Negara

Peneliti ICW, Egi Primayogha, menilai tunjangan ini sebagai bentuk pemborosan. Jika dihitung, anggaran negara yang terkuras untuk membayar tunjangan rumah mencapai Rp1,74 triliun (Rp50 juta × 580 anggota × 60 bulan masa jabatan).

Padahal, pemerintah gencar menggaungkan efisiensi anggaran dengan memangkas pos-pos penting yang justru berdampak langsung pada pelayanan publik.

2. Kondisi Ekonomi Masyarakat Memburuk

Kritik makin tajam karena kebijakan ini lahir di tengah kesulitan ekonomi rakyat. Harga kebutuhan pokok, khususnya beras, terus meroket. Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencatat, pada 18 Agustus 2025:

  • Beras premium tembus Rp16.088/kg (naik dari HET Rp14.900/kg).

  • Beras medium naik menjadi Rp14.260/kg dari Rp12.500/kg.

Di sisi lain, tarif PPN bersiap naik menjadi 12%, pajak bumi dan bangunan (PBB) meningkat, serta angka PHK sepanjang semester I 2025 mencapai 42.385 pekerja, melonjak 32% dibanding tahun sebelumnya.

Dalam kondisi ini, wajar bila publik menilai tunjangan DPR tidak memiliki urgensi.

Seberapa Besar Gaji dan Tunjangan DPR?

Sebelum adanya tunjangan rumah, anggota DPR sudah menikmati berbagai fasilitas, di antaranya:

  • Gaji pokok: Rp4,2 juta (anggota), Rp4,62 juta (wakil ketua), Rp5,04 juta (ketua DPR).

  • Tunjangan melekat: istri/suami Rp420 ribu, anak Rp168 ribu, sidang Rp2 juta, jabatan Rp9,7 juta, beras Rp30 ribu per jiwa, PPh Rp2,6 juta.

  • Tunjangan lain: kehormatan Rp5,58 juta, komunikasi Rp15,55 juta, fungsi pengawasan Rp3,75 juta, listrik & telepon Rp7,7 juta, asisten Rp2,25 juta.

Total penerimaan anggota DPR, tanpa tunjangan rumah dan perjalanan dinas, mencapai Rp54 juta lebih per bulan. Dengan tunjangan rumah Rp50 juta, angka itu melonjak di atas Rp100 juta.

Kritik Terhadap Kinerja DPR

Besarnya pendapatan anggota DPR dianggap tidak sebanding dengan kinerja.

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai tunjangan rumah hanyalah “bahasa politik dari subsidi” yang justru menambah beban negara. Banyaknya tunjangan, menurutnya, membuat anggota DPR "obesitas" dan cenderung malas.

Walau DPR mengklaim menerima ribuan laporan masyarakat dan mengesahkan beberapa RUU, faktanya banyak rancangan undang-undang yang diproses tanpa partisipasi publik dan bahkan menimbulkan kontroversi.

Survei Indikator Politik Indonesia (27 Januari 2025) juga menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap DPR hanya 69%, berada di posisi kedua terendah dari 11 lembaga.

Kenapa Tidak Gunakan Rumah Dinas?

Alasan pemberian tunjangan rumah adalah karena rumah dinas di Kalibata dan Ulujami dinilai rusak, bocor, dan butuh renovasi besar. Namun, data ICW menemukan bahwa DPR tetap menganggarkan ratusan miliar untuk pemeliharaan rumah dinas tersebut.

Temuan ini menimbulkan kecurigaan bahwa tunjangan rumah Rp50 juta per bulan lebih diprioritaskan ketimbang memanfaatkan fasilitas negara yang ada.

Tanggapan Anggota DPR

Ketika ditanya soal kebijakan ini, sebagian besar anggota DPR enggan berkomentar. Hanya anggota Komisi I, TB Hasanuddin, yang menyatakan dirinya menerima saja berapapun jumlah tunjangan yang diberikan:

“Kami ini hanya menerima. Buat saya diberi berapapun saya bersyukur.”

Kesimpulan

Pemberian tunjangan rumah Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR menuai penolakan luas karena dianggap:

  • Menguras anggaran hingga triliunan rupiah.

  • Tidak pantas di tengah kondisi ekonomi rakyat yang semakin sulit.

  • Tidak sebanding dengan kinerja DPR yang rendah dan tingkat kepercayaan publik yang merosot.

Di sisi lain, alasan teknis soal rumah dinas juga dipandang tidak masuk akal, sebab perawatan tetap menghabiskan ratusan miliar.

Pertanyaan besar pun muncul: Apakah tunjangan ini wajar, atau justru bentuk ketidakpekaan DPR terhadap penderitaan rakyat?

Ditulis Oleh: Ust Azzam

Terangi masa depan dengan cahaya Al-Qur'an. Satu gedung bisa melahirkan ribuan penghafal yang akan menjaga kalam Allah. Lewat ekspedisi Iman dari Kata ke Amal, IslamMedia.com ingin membangun Gedung Penghafal Al-Qur'an di pelosok negeri. Bantu anak-anak menjadi generasi Qur'ani..

Ayo donasi via amalsholeh

Posting Komentar untuk "Tunjangan Rumah DPR Rp50 Juta per Bulan: Wajar atau Pemborosan?"